Untuk Ayah dan Bunda, dari Kami Anak-Anakmu yang Mereka Lebeli (Generasi Micin)


Pembukaan :
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
Sudah lama saya tidak menulis di blog ini. Pada postingan kali ini saya akan membahas hal yang sebenarnya sangat kompleks, dan mungkin sebenarnya saya bukan orang yang pantas untuk membahas topik seberat ini. Namun justru karena itulah saya menjadi sangat tertarik untuk ikut meramaikan event blog competition yang diadakan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan tema "Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Era Kekinian". Saya akan menulis benar-benar dengan versi yang berbeda,  dan tidak dengan dasar hukum atau dasar teoritis yang kuat sehingga terkesan seperti omong kosong, dan mohon maaf jika sedikit emosional.


Argumen Pribadi

Jika emas diukur dengan karat, maka manusia bernilai karena manfaat, untuk dirinya, kerabatnya, lingkungan sekitarnya, alam raya... Bagaikan air, kebaikan pasti akan terus mengalir...Kebaikan selamanya akan tetap baik -Marzuki Mohamad (Hip Hop Jogja)-

Seperti lirik di atas, bagi saya semua ini, perkembangan teknologi ini, perubahan habitat dan kebiasaan ini, fenomena yang kini terus diantisipasi dini, semua adalah "Baik" . Hanya saja untuk melahirkan satu keindahan baru ulat harus merusak kepompongnya. Untuk terus berdiri tegak jati harus menggugurkan sebagian daunnya. Demikian pula manusia, saya yakin ini adalah sebuah kemajuan yang baik, lantas mengapa kemajuan ini seakan dikambing-hitamkan lantaran banyaknya kerusakan moral yang terjadi pada generasi masa kini yang kalian lumrah melabelinya "Generasi Micin". Karena bagi saya semua perubahan ini baik, maka saya yakin akan "Kebaikan selamanya akan tetap baik". Maka peran orang tua, oh bukan, justru peran semua orang dewasa adalah mendorong agar proses menuju "Baik" lebih cepat dan benar, bukan justru membatasi atau bahkan melarang dengan keras sebuah perubahan drastis ini seakan berkata "Itu akan membuatmu bodoh nak".

Menurut M.J. Langeveld Pendidikan adalah : Upaya dalam membimbing manusia yang belum dewasa kearah kedewasaan. 
Jika saya mengartikannya secara tekstual pengertian pendidikan menurut M.J. Langeveld memang lebih condong kearah peran orang tua dalam membimbing anaknya menjadi lebih dewasa, dewasa dalam berpikir dan bersikap. Namun sekali lagi itu adalah "upaya", sehingga sifatnya tidak memaksakan kehendak. Saya analogikan seperti ini:

Saya tidak memperbolehkan anak saya memakan makanan A, saya memarahinya dan memaksanya untuk memakan makanan B, dengan alasan karena lebih baik untuk dirinya. Bukankah lebih baik jika saya dampingi anak saya, kemudian saya tunjukkan pada anak saya bahwa masih banyak makanan yang lebih enak dan bergizi, seperti makanan B, C, D, dan E. kemudian saya temani dia makan makanan itu, dan saya jelaskan manfaatnya. Lalu biarkan dia memilih, jika pilihannya tidak sesuai dengan keinginan saya maka saya akan meminta penjelasannya, karena itu juga termasuk dari pendidikan, yaitu mengajarinya untuk berdemokrasi dan berani menyampaikan pendapat, juga belajar mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan. Intinya saya tidak memaksakan kehendak saya agar anak saya memakan makanan B. Itu bukan buku masa kini lho ya, M.J Langeveld itu meninggal tahun 1989, jadi tidak mungkin dia menulis buku setelah meninggal. #guyon. Maksudnya adalah pendapat demikian sudah ada sejak lama.

Oke fix, ini akan penuh dengan curhatan kalau tidak segera diakhiri. 
Intinya adalah Peran Keluarga dalam penyelenggaraan Pendidikan sangat penting bukan hanya di Era Kekinian, bahkan sejak jaman Nabi Adam A.S. keluarga sudah menjadi poros utama dalam pendidikan. Cara mengambil sikap untuk mendidik anak entah di era milenial atau era 90an pun tidak jauh berbeda, itu semua hanya masalah sudut pandang. Kalau banyak yang berkata "Jadi orang tua jaman sekarang itu susah" lho, sejak dulu pun demikian, orang tua kita juga tidak gampang mendidik kita sampai menjadi seperti sekarang ini. Ada lagi yang 'nyeletuk' seperti ini "Anak jaman sekarang itu parah, SD, SMP, sudah pacaran" lho, bagi orang kampung seperti saya sudah tidak kaget dengan isue seperti itu, lha wong teman-teman ibuk saya malah dulu menikah saat usianya setara dengan siswa SMP, sekolah hanya sampai SD, kemudian bekerja, dan menikah.

Nah kemudian adapula yang berpendapat "Mendidik anak jaman sekarang itu tidak bisa pakai kekerasan". Kemudian dibelahan bumi lainnya ada yang berpendapat "Mendidik anak jaman sekarang itu harus dengan ketegasan, agar generasi muda sekarang tidak lembek". Nah lho, mana yang benar nih? Teman-teman yang hobi memelihara kucing pasti tahu dong cara memandikan kucing kesayangannya, kira-kira sama tidak ya cara memandikannya dengan teman-teman yang hobi memelihara ikan arwana? Kalau tidak salah supaya rambut kucing sehat itu ada sampo khusus kucing, namun 100% ikan arwana tidak butuh itu. Sebalikanya, supaya ikan arwana sehat air kolam harus rutin dikuras, dan 100% kucing tidak butuh itu.

Jadi menurut saya : Perbedaan cara mendidik anak bukan didasari beda generasi, namun beda cara mendidik anak karena didasari keistimewaan masing-masing anak itu sendiri.

Waduh kok saya malah jadi sok tahu sih. Oke next.

Bagaimana pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan di era kekinian?

Saya akan menulis berdasarkan sudut pandang saya sebagai "anak".

Ayah, Bunda, tolong baca tulisan anakmu ini, anakmu yang jika mengikuti Trend akan diberi label generasi micin.


Jadilah Buku Bagi Kami

Ayah, Bunda. Salahkah kami yang terlalu sering menunduk dan menatap layar gawai? Kami bukan malas membaca, tapi sekarang gawai lebih banyak menampilkan informasi dan gambar-gambar lucu yang membuat kami lebih betah menatapnya. Kami hanya bosan kalau harus membaca buku yang tidak bisa diajak berinterkasi. 
Ayah, Bunda. Jujur, kami pernah, bahkan sering membuka, dan mambacanya lebih jauh hal-hal yang tidak seharusnya kami baca. Karena rasa penasaran kami yang tinggi, kami sering salah menirukan. Kami sering salah mengambil sikap.

1. Pronografi
Konten ini yang paling sering kami temui. Ada beberapa teman kami yang bahkan menjadi candu konten ini. Adapula beberapa teman kami yang menjadi pelaku pelecehan seksual akibat konten ini. Lebih parahnya lagi, ada beberapa teman kami pula yang menjadi korban. Lantas kami harus bagaimana wahai ayah dan bunda?


2. Kata-Kata Kasar
Banyak sekali yang menuliskan kata-kata yang tidak sopan itu di media sosial. Kami pikir itu adalah hal yang lumrah, sebab itulah kami jadi ikut-ikutan. Habisnya kalau kami tidak demikian kami dianggap cupu atau culun.


3. Game Jahat
Game ini yang paling kami suka, wahai Ayah, Bunda. Kami seperti sedang berada di dalam dunia fantasi, sungguh itu membuat kami bahagia sampai jantung ini berdebar-debar saat memainkannya. Bahkan kami menjadi lebih menjiwai karakter kami di game. Yang jadi masalah adalah ada beberapa game yang membuat kami menjadi aneh dan merusak sikap kami di mata Ayah dan Bunda. Mulai dari : -Kekerasan -Judi -Sikap Konsumtif(Boros) . Masih banyak sekali dampak dari game ini, mulai dari yang baik-baik sampai yang mampu merusak otak sebagian teman-teman kami. Bahkan kadang Ayah, dan Bunda memarahi kami karena kami sampai lupa waktu bila sudah bermain game yang kami suka. Namun bukan berarti kami harus berhenti main game kan wahai Ayah, Bunda? Ya, kami memang sadar ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam bermain game, mulai dari jenis game, konten yang ditampilkan, tokoh-tokoh dalam game, sampai bahasa atau suara-suara yang dimunculkan dalam game harus benar-benar kami perhatikan. Seperti yang disampaikan pada e-book Mendampingi Anak dalam Permainan Interaktif Elektronik (Games) yang diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Seri Pendidikan Orang Tua No. C3.2.SPOT.022. Mungkin jika Ayah, dan Bunda membaca e-book itu akan lebih memahami apa yang kami sukai dalam hal game.

Masih banyak hal tidak baik yang sering kami jumpai. Lantas apa yang harus kami baca wahai Ayah, dan Bunda?
Apa karena hal buruk di atas yang dibuat oleh orang-orang dewasa, lantas kami yang anak-anak dibatasi untuk lebih mengenal teknologi?
Kalau Ayah dan Bunda melarang kami menggunakan teknologi maka kami akan tertinggal, tapi kalau kami menggunakan teknologi, kami sering melakukan kesalahan. Sepertinya akan asik kalau Ayah, dan Bunda menemani kami belajar banyak hal dengan kecanggihan teknologi masa kini agar kami tidak salah mengambil sikap. Ayah, dan Bunda juga sepertinya terlihat amat cerdas, berkenankah Ayah, dan Bunda menjadi jendela dunia bagi kami? 
-Ajari kami cara berinteraksi dengan teman-teman kami di media sosial dengan baik, 
-Ajari kami cara bermain game yang asik dan tidak merusak diri kami, dan sebagainya.


Jadilah Guru dan Teman Kami

Ayah, Bunda. Kami tidak tahu kalau ternyata belajar itu tidak harus di sekolah, dan tidak harus tentang Fisika, Kimia, atau Matematika. Ayah, dan Bunda maukah mengajari kami tentang cara menikmati kebersamaan, tentang cara saling menjaga dan membagi kebahagiaan dalam keluarga, dan seterusnya. Luangkanlah sedikit waktu Ayah, dan Bunda untuk kami.

Kami tidak tahu betapa menyenangkannya bermain layang-layang sambil bernyanyi dan berhitung dengan riang di tanah lapang. Bahkan kami tidak tahu bagaimana cara menerbangkannya.
Maukah Ayah dan Bunda mengajari, dan menemani kami belajar sambil bermain?

1. Ajak dan Beri Contoh
Kami bukan tidak mau atau malas melakukan kegiatan fisik yang bermanfaat. Hanya saja kami ragu dan bingung harus memulainya dari mana, kami takut salah, dan kami juga tidak tahu harus mencontoh siapa. Maukah Ayah, dan Bunda mengajak kami dan memberi kami contoh bagaimana melakukan kegiatan fisik yang bermanfaat bagi kesehatan kami? Mungkin terkadang kami agak pemalu hingga butuh 2 sampai 3 kali ajakan barulah kami mau mengikuti. Kami harap Ayah, dan Bunda sabar mengajari kami.

2. Jadilah Teman Diskusi
Begitu banyak hal baru dan sangat menarik bagi kami untuk diceritakan. Tidak sedikit pula hal yang belum kami tahu dan perlu kami tanyakan. Coba Ayah, dan Bunda bayangkan kalau saja kami bercerita atau bertanya kepada orang yang salah, kemudian kami mendapatkan penjelasan yang salah pula, sehingga jawaban tersebut berpotensi merusak moral kami. Apakah Ayah, dan Bunda akan membiarkan hal itu terjadi pada kami? Kami yakin Ayah, dan Bunda tidak demikian. Kalau begitu, maukah Ayah, dan Bunda berjanji setelah Ayah, dan Bunda pulang kerja, tolong sempatkan mendengarkan cerita kami, dan ajari kami makna dan hikmah apa yang harus kami petik dari setiap masalah yang kami alami.

Oh, iya. Terkadang kami canggung untuk memulai cerita, jika hal itu terjadi, kalau bisa Ayah, dan Bunda peka sedikit dong "hehehe" beri kami sedikit pancingan-pancingan topik pembicaraan, beri kami intro yang menyenangkan, beri kami prolog yang mungkin sesuai dengan cerita kami. Kami yakin Ayah, dan Bunda bisa membaca pikiran kami hanya dengan menatap mata kami. Kami yakin.

E-book Seri Pendidikan Orang Tua No. C3.2.SPOT.022

3. Temani dan Beri Perhatian
Kami sering sekali merasa bosan. Sering merasa penasaran. Sehingga terkadang melakukan hal-hal yang tidak baik. Yang menjadi masalah adalah ketika kami melakukan perbuatan yang "Tidak Baik" di media sosial, warganet atau mayoritas pengguna media sosial maupun masyarakat secara real, dengan mudahnya men-judge bahwa kami generasi yang "Rusak". Jika hal itu terjadi pada kami, apakah Ayah, dan Bunda bersedia untuk tetap menemani kami?
Terkadang hati dan perasaan kami masih labil, tidak stabil emosinya. Maka dari itu kami berharap Ayah, dan Bunda terus menemani kami dan memberi kami perhatian yang lebih, agar kami bisa tumbuh lebih baik.
Coba Ayah, dan Bunda bayangkan.
"Suatu ketika kami mencuri roti di sebuah toko, kemudian pemilik toko itu memergoki kami, akhirnya kami diarak keliling kampung, kami dipermalukan, semua warga kampung akhirnya menjauhi kami, bahkan tidak memperbolehkan anaknya bermain dengan kami, lalu andai saja Ayah, dan Bunda juga ikut menghakimi kami mungkin yang mau menerima kami hanya ada satu, yaitu teman kami yang sama-sama pencuri. Lalu apa jadinya kami jika terus menerus berteman dan berkumpul di lingkungan yang demikian?
Ya, intinya kami ingin Ayah, dan Bunda selalu menemani kami apapun yang terjadi, beri kami arahan penuh perhatian, dan tunjukkan pada kami bagaimana cara menghadapi situasi yang sulit seperti ini.

Ayah, Bunda. Kami butuh sosok panutan yang bisa kami jadikan contoh, yang bisa kami tiru. Kami tiru sikapnya, kami tiru tutur katanya, kami tiru cara berpakaiannya, kami tiru kegiatannya, dan seterusnya.



Jadilah Konsultan Hidup Kami

Ayah, Bunda. Tunjukkan pada kami dan beri tahu kami hal apa saja yang bisa kami gapai, hal apa saja yang bisa kami lakukan. Namun ijinkanlah kami memutuskannya sendiri, ijinkanlah kami menentukan pilihan kami. Kemudian bantulah kami, sampai kami benar-benar bisa menggapainya.


1. Manfaatkan Teknologi untuk Prestasi
Belakangan ini kami lihat banyak orang terkenal hanya dengan mempermalukan dirinya sendiri, apakah itu sebuah prestasi wahai Ayah, Bunda? "Bukan" itu bukan prestasi. Kalau begitu tolong ajari kami bagaimana cara memanfaatkan teknologi untuk sebuah prestasi, ajari kami hal apa saja yang bisa kami lakukan dengan teknologi modern ini. Mungkin Ayah, dan Bunda ingin mengajari kami menjadi seorang blogger, content writer, fotografer, youtuber, web developer, programer, progamer, dan lain sebagainya. Setidaknya beri kami arahan, siapa tahu ada yang kami suka dan ternyata kami memiliki bakat, maka itu akan sangat membantu kami menemukan passion kami. Karena potensi kami tidak mesti di bidang akademik, sama seperti kisah Azzam yang dididik berdasarkan potensi oleh kedua orang tuanya pada artiket berjudul : Azzam Dididk Orangtuanya dengan Mengoptimalkan Potensinya (bag 2).

2. Praktikan Hal-hal yang Dipelajari
Kami sering membangkang pada Ayah, dan Bunda. Kami sering tidak mau menuruti apa keinginan Ayah, dan Bunda. Mungkin itu terjadi karena kami pikir Ayah, dan Bunda tidak mengerti apa yang kami maksud, dan tidak mengerti apa yang kami suka.
Maka setelah Ayah, dan Bunda menunjukkan banyak hal melalui gawai, ajari kami mempraktikkannya, ajari kami penerapannya. Mungkin dengan demikian kami akan merasa bahwa Ayah, dan Bunda mengerti apa yang kami inginkan, sehingga kami akan mudah mendengarkan dan menerima setiap arahan yang Ayah, dan Bunda berikan.

Misalnya Bunda mengajarkan kami bahwa "Kita bisa cari semua informasi di gawai kita". Kemudian Bunda mempraktikannya untuk mencari resep membuat masakan tadisional Indonesia, dan mengajak kami membantu memasaknya sesuai panduan yang muncul pada layar pencarian di gawai. Kami pasti akan senang.

3. Berhenti Menghakimi
Jadilah pemberi solusi untuk kami. Jadilah orang yang kami percaya untuk kami menceritakan masalah kami. Kami jadi enggan untuk bercerita karena Ayah, dan Bunda akan menyuruh kami meninggalkan dunia yang menyenangkan bagi kami, menyuruh kami untuk tidak lagi bermain hal-hal menyenangkan, itu membuat kami agak khawatir. Parahnya lagi bahkan ada diantara kami yang harus menerima perlakuan tidak baik seperti disiram air panas, diserang dengan setrika, dan lain-lain. Jikalah memang kami salah tolong ajari kami dengan bahasa yang kami mengerti.

Oke baik, kami paham Ayah, dan Bunda ingin memberi kami sedikit ketegasan agar kami tidak mengulangi kesalahan. Tapi kalau berlebihan dampaknya adalah kami jadi takut bercerita pada Ayah, dan Bunda jika kami mengulangi kesalah serupa. Kemudian kami akan berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikannya, setelah itu kami akan terlatih untuk berbohong.

Atau jika kami terlalu sensitif dan mudah marah sehingga Ayah, dan Bunda tidak suka, percayalah itu salah satu tanda bahwa kami sedang ada masalah. Kami butuh kehadiran Ayah, dan Bunda untuk memberi kami kekuatan bukan justru membuat kami semakin takut.

E-book Seri Pendidikan Orang Tua No. C3.2.SPOT.021

point yang disampaikan pada e-book Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Seri Pendidikan Orang Tua No. C3.2.SPOT.021. dengan judul Mendampingi Anak Ketika Bermasalah mungkin lebih membuat kami merasa aman dan nyaman. Jika Ayah, dan Bunda bisa bersikap demikian kami pasti merasa bisa melewati masalah yang kami alami.







Kesimpulan

Ijinkan saya untuk menarik kesimpulan dari apa yang telah saya tulis diatas.
Saya membuat tiga garis besar untuk menjawab pertanyaan Bagaimana pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan di era kekinian?
Jawaban saya adalah:

1. Jadilah Buku Bagi Kami
artinya "sebagai orang tua" sudah semestinya kita menjadi objek yang bisa dibaca oleh anak-anak kita. Orang tualah yang menjadi bacaan terbaik untuk anak-anaknya. Jadilah orangtua yang menyimpan banyak ilmu sehingga anak-anak kita bisa belajar banyak hal dari diri kita.

2. Jadilah Guru dan Teman Kami
Jangan biarkan anak-anak kita membaca secara gamblang apa yang baru saja mereka pelajari. Orangtua harus mendampinginya, mengatur porsi dan menyaring hal-hal baiknya. Contohkan agar mereka menirukan, kemudian temani agar mereka tidak kesepian dan salah jalan.

3. Jadilah Konsultan Hidup Kami
Hadirlah disetiap masalah yang dialami oleh anak-anak kita untuk membangunkannya dari keterpurukan. Masuklah kedalam kesedihan dan ketakutan anak-anak kita agar senyumnya kembali menghiasi hari-hari kita "orang tua". Ingatkan jika mereka mulai berada di jalan yang salah, temani saat mereka mulai merasa sendiri, berikan seribu pilihan terbaik untuk anak-anak kita, biarkan mereka menentukan arah hidup mereka, suport mereka dengan segala yang kita punya. 


Pada akhirnya semua adalah proses menuju kearah yang lebih baik. Dalam proses itu akan selalu ada permasalahan yang kemudian bisa kita ambil sebagai pembelajaran. Membaca adalah salah satu cara untuk mempersiapkan diri menghadapi permasalahan yang akan muncul dikemudian hari. Mungkin beberapa e-book dari  sahabatkeluarga kemdikbud bisa menjadi referensi bacaan yang cocok untuk hal ini.

Sekian. Semoga bermanfaat.
Postingan ini diikutsertakan dalam event blog competition yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan tema "Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Era Kekinian"

#SahabatKeluarga

Previous
Next Post »